Rabu, 27 April 2011

Induksi Inhibitor

Diposting oleh ella elly di 19.29 0 komentar

  • DASAR TEORI
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah obat dalam tubuh dapat berkurang karena proses metabolisme dan ekskresi. Hati merupakan organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif mengeksresi obat yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami reabsorpsi di tubulus setelah melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat yang lipofil harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya reabsorpsinya berkurang sehingga mudah diekskresi.
            Proses metabolisme terbagi menjadi beberapa fase, fase I merubah senyawa lipofil menjadi senyawa yang mempunyai gugus fungsional seperti OH, NH2, dan COOH. Ini bertujuan agar senyawa lebih mudah mengalami proses perubahan selanjutnya. Hasil metabolisme fase I mungkin mempengaruhi efek farmakologinya. Metabolisme fase I kebanyakan menggunakan enzim sitokrom P450 yang banyak terdapat di sel hepar dan GI. Enzim ini juga berperan penting dalam memetabolisme zat endogen seperti steroid, lemak dan detoksifikasi zat eksogen. Namun demikian, ada juga metabolisme fase I yang tidak menggunakan enzim sitokrom P450, seperti pada oksidasi katekolamin, histamine dan etanol.
            Reaksi fase II atau reaksi konjugasi terjadi jika zat belumcukup polar setelah mengalami metabolisme fase I, ini terutama terjadi pada zat yang sangat lipofil. Konjugasi ialah reaksi penggabungan antara obat dengan zat endogen seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat dan asam amino. Hasil reaksi konjugasi berupa zat yang sangat polar dan tidak aktif secara farmakologi. Glukoronidasi adalah reaksi konjugasi yang paling umum dan paling penting dalam ekskresi dan inaktifasi obat.
            Untuk obat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2, SH dan COOH mungkin tidak perlu mengalami reaksi fase I untuk dimetabolisme fase II. Dengan demikian tidak semua zat mengalami reaksi fase I terlebih dahulu sebelum reaksi fase II. Bahkan zat dapat mengalami metabolisme fase II terlebih dahulu sebelum mengalami metabolisme fase I.  
(Mycek,2001)

Metabolisme obat terutama terjadi di hati,yakni di membran endoplasmic reticulum(mikrosom)dan di cytosol.Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah:dinding usus,Ginjal,Paru,Darah,Otak dan Kulit,juga di lumen kolon(oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak) menjadi polar (larut air)agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu.dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif.Tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif(jika asalnya prodrug),kurang aktif,atau menjadi toksik.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytocrome P450 (cyp)yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed Fungtion Oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom)hati.Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme,terutama enzim cyp.
Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan.
Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung dengan akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung.
(Mardjono,2007,hal 8)

Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis,masa kerja,dan toksisitas obat.Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat penting dalam studi.suatu obat dapat menimbulkan suatu respon biologis dengan melalui dua jalur,yaitu:
a.       Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah,langsuns berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis.
b.      Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah  mengalami proses metabolisme menjadi obat aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis(bioaktivasi)

Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak aktif dan tidak toksik(bioinaktivasi atau detoksifikasi),mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh.Hasil metabolit obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk(biootoksifikasi)dan ada pula hasilmetabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan senyawa induk.contoh:Iproniazid,suatu obat perangsang system syaraf pusat,dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai antituberkolosis.
Faktor-faktor yang mempengarui metabolisme obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit.Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan dalam proses metabolisme.Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan masa kerja obat.Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu.Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat.Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain:
1.      Faktor Genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor genetic atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.
2.      Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat,perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda,tetapi kadang-kadang ada perbedan uang cukup besar pada reaksi metabolismenya.
3.      Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat



4.      Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.
5.      Penghambatan enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat,memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.
6.      Induksi enzim metabolisme
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat.Hal ini disebabkan senyawa tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim metabolisme dan bukan Karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi penghambatan.Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentuatau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat.
Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan metabolit reaktif.

Tempat metabolisme obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan dan organ-organ seperti hati,ginjal,paru dan saluran cerna.Hati merupakan  organ tubuh tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain.Metabolisme obat di hati terjadi pada membrane reticulum endoplasma sel.Retikulum endoplasma terdiri dari dua tipe yang berbeda,baik bentuk maupun fungsinya.Tipe 1 mempunyai permukaan membran yang kasar,terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam aminoyang diperlukan untuk sintesis protein.Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus tidak mengandung ribosom.Kedua tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat. Jalur umum metabolisme obat dan senyawa organik asing Reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic asing ada dua tahap yaitu:
1.      Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi
2.      Reaksi fase II atau reaksi konjugasi.
Yang termasuk reaksi fase I adalah reaksi-reaksi oksidasi,reduksi,dan hi drolisis.tujuan reaksi ini adalah memasukkan gugus  fungsional tertentu yang besifat polar.
Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi,metilasi dan asetilasi.Tujuan reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fase I dengan senyawa endogen yamg mudah terionisasi dan bersifat polar,seperti asam glukoronat,sulfat,glisin dan glutamine,menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air.Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktivias dan toksisitasnya,dan kemudian di ekskresikan melalui urin.
Pada metabolisme obat,gambaran secara tepat system enzin yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi,reduksi,masih belum diketahui secara jelas.Secara umum diketahui bahwa sebagian besar reaksi metabolik akan melibatkan prpses oksidasi.Proses ini memerlukan enzim sebagai kofaktor,yaitu bentuk tereduksi dari nikotinamid-adenin-dinukleotida fosfat (NADPH) dan nikotinamid-adenin-dinukleotida
(Siswandono,1995;hal 57-66)



  •            ALAT DAN BAHAN
a.       Alat dan bahan
Ø  Jarum suntik oral (ujung tumpul)
Ø  Stopwatch
Ø  Induktor enzim : Phenobarbital
Ø  Inhibitor enzim : Simetidin
b.      Hewan uji : Mencit
 
  •             PEMBAHASAN

Percobaan kali ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya. Hewan uji yang digunakan adalah mencit, digunakan mencit yang mempunyai sistem metabolisme menyerupai manusia, lebih ekonomis, dan mudah didapatkan. Organ pemetabolisme terbesar adalah hati.
Obat yang digunakan pada pecobaan ini yaitu Phenobarbital yang mempunyai dosis 80mg/kgBB. Phenobarbital memiliki efek hipnotik/sedatife sehingga lebih mudah dilakukan pengamatan. Pemberian Phenobarbital dilakukan secara intraperitonial agar efek yang ditimbulkan lebih cepat karena di dalam rongga perut memiliki atau terdapat banyak pembuluh darah.
Senyawa kimia yang mempengaruhi enzim metabolisme antara lain, induktor dan inhibitor. Induktor adalah senyawa kimia yang dapat mempercepat kerja dari enzim metebolisme. Inhibitor adalah sentawa kimia yang dapat menghambat kerja dari enzim metabolisme.
Pada kontrol, hewan uji hanya diberikan Phenobarbital 80mg/kgBB. Pada inductor, hewan uji diberi Phenobarbital selama 3 hari berturut-turut tiap 24 jam dan saat praktikum diberi lagi Phenobarbital 80mg/kgBB. Phenobarbital diberikan 3 hari karena Phenobarbital dapat mengalami auto induksi akibat pemakaian selama 3 hari sampai 7 hari dimana menginduksi dirinya sendiri, disini melibatkan enzim sitokrom P450 dan glukoranil transferase untuk metabolisme Phenobarbital, kemudian setelah 3 hari sampai 7 hari akan terjadi toleransi yang yang nenberikan efek hewan uji tersebut tidur. Pada inhibitor, 1 jam sebelumnya diberikan Simetidin setelah itu diberikan Phenobarbital 80mg/kgBB karena kadar puncak Simetidin pada plasma dicapai setelah 1 jam. Simetidin mempunyai daya kerja menghambat enzim sitokrom P450, maka menghambat metabolisme Phenobarbital sehingga kerja Phenobarbital dalam hewan uji lebih lama.
Parameter yang saling berpengaruh disini adalah durasi karena yang dilihat adalah kadar obat di dalam plasma sehingga yang dilihat obat tersebut berefek sampai obat tersebut tidak berefek. Jadi bukan onsetnya atau waktu mula kerja obat sampai obat tersebut memberikan efek. Rata-rata durasi terbesar adalah kontrol, durasi terkecil adalahn inhibitor. Menurut teori durasi yang tercepat adalah induktor,kontrol, inhibitor.
Reaksi-reaksi selama proses metabolisme dibagi menjadi 2 yaitu reaksi fase I (reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis) : reaksi-reaksi enzimatik yang berperan dalam proses ini sebagian besar terjadi di hati. Mengalami hidroksilasi pada posisi para dengan  bantuan enzim sitokrom450. Reaksi fase II (konjugasi glukoronida, asilasi, metilasi, pembentukan asam merkapturat, konjugasi sulfat).
Pemberian Phenobarbital pada hewan uji dapat menyebabkan hewan uji tersebut tidur, bangun dan tidur kembali. Hal ini Phenobarbital memiliki efek redistribusi.
Dilakukan uji anava untuk durasi. Menghasilkan data F hitung lebih besar dari F tabel yang berarti ada perbedaan durasi antar kelompok sehingga dilanjutkan dengan pasca anava. Dari pasca anava didapatkan kontrol vs induksi berbeda signifikan, kontrol vs inhibisi berbeda signifikan dan induksi vs inhibisi tidak berbeda signifikan. Berarti pemberian induktor atau inhibitor akan mempengaruhi metabolisme obat (durasi obat) sehingga perlu diperhatikan pemberian obat secara bersama. Pemberian obat secara bersamaan dengan inhibitor menyebabkan masa kerja obat diperpanjang dan dapat menyebabkan efek toksis karena aktivitas enzim metabolisme dihambat. Obat diberikan bersamaan induktor dapat mempercepat metabolisme obat tersebut dengan meningkatkan aktivitas enzim metabolisme, ini menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma turun dan masa kerjanya lebih singkat.

  •             KESIMPULAN
Disimpulkan bahwa pemberian obat bersamaan pemberian induktor atau inhibitor dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme obat denag mempengaruhi aktivitas enzim metabolisme. Induktor mempercepat kerja dari enzim metabolisme sehingga memberikan durasi lebih cepat. Inhibitor menghambat kerja dari enzim pemetabolisme sehingga durasinya lebih lama.

  •          DAFTAR PUSTAKA
1)      Mardjono, Mahar, 2007, Farmakologi dan Terapi, Jakarta; Universitas Indonesia Press.
2)      Mycek, Mary J, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2, Widya Medika, Jakarta.
3)      Siswandono, Soekardjo, 1995, Kimia Medisinal, Surabaya; Airlangga University Press.




anti Inflamasi

Diposting oleh ella elly di 10.14 1 komentar

  •              DASAR TEORI
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak dan disertai gangguan fungsi.
Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya. Karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya.
(Jeanne Esvandiary, Maria Firmina Sekar Utami, Yosef Wijoyo, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

Obat – obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utama, golongan kortikostreroid dan nonsteroid.
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling banyak dikonsumsi untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika dan anti inflamasi. OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan. Kebanyakan OAINS lebih dimanfaatkan pada pengobatan musculoskeletal seperti arthritis rheumatoid, ostoeartritis dan spondilitis ankilosa.
OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan – peradangan di dalam dan di sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoarthritis, arthritis rheumatoid dan gout arthritis. Di samping itu, OAINS juga banyak pada penyakit - penyakit non rematik, seperti kolik empedu dan saluran kemih, thrombosis serebri, infark miokardium dan dismenorea. Namun, OAINS hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal.
( Godman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeitic, 10 th ed. 2001)

Aktivitas antiinflamasi OAINS mempunyai mekanisme kerja melalui penghambatan biosintesis prostaglandin. Efek terapi dan efek samping OAINS berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2) yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Oleh karena AINS dengan selektivitas menghambat COX-2, maka sediaan ini diduga bebas dari efek samping yang menakutkan pada saluran cerna. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem kardiovaskuler.
(Drs. Tan Hoan Tjay, Drs. Kirana Rahardja, 2007)

Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5) bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.
(Aznan Lelo, D. S. Hidayat, Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi dan Terapeutik, Universitas Sumatera Utara)

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormone adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis atau atas angiotensin II. Hormone ini berperan pada banyak system fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stress, tanggapan system kekebalan tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Dengan efek yang sama, bahkan berlipat ganda, maka kortikosteroid sanggup mereduksi sistem imun (kekebalan tubuh) dan inflamasi.
(doctorology.net)

  •            ALAT DAN BAHAN
§  Alat                       :
¨      Plestimograf
¨      Alat suntik
¨      Spuit  1ml
¨      Beker glass
¨      Sonde
§  Bahan        :
¨      Tikus
¨      Karagenin 1%
¨      Na diklofenak
¨      Deksametason
¨      Metil prednisolon
¨      Ibuprofen
¨      CMC Na
¨      Aquadest

  •    PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan uji anti inflamasi. Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari daya anti inflamasi obat pada binatang dengan radang buatan. Tidak seperti praktikum sebelumnya, pada percobaan kali ini digunakan hewan uji tikus. Digunakan tikus karena, pada kaki tikus lebih besar dan mudah disuntik secara subplantar, sedangkan jika digunakan mencit, kaki mencit harus dipotong tiap kali uji. Sebelumnya kaki tikus sebelah kanan harus ditandai sebatas mata kaki  untuk menyamakan persepsi pembacaan saat dicelupkan pada alat pletismograf. Pastikan sebelum kaki tikus dimasukkan pada alat plestimograf cairan pada pengukur berada pada titik nol.
Pada alat plestimograf digunakan  air raksa karena memiliki daya kohesi yang tinggi sehingga tidak membasahi kaki tikus. Digunakan air raksa dan air berwarna merah karena air raksa yang memiliki daya kohesi lebih besar daripada daya adhesi tidak dapat bercampur dengan air berwarna sehingga dapat mendorong cairan berwarna untuk lebih mudah dibaca skalanya. Penggunaan cairan bisa diganti dengan cairan lain dengan penambahan warna lain namun harus memiliki prinsip cairan tidak bercampur satu sama lain.
Sebagai anti inflamasi, digunakan Deksametason, dan sebagai radang buatan digunakan karagenin 1%. Digunakan karagenin karena karagenin bersifat sebagai pengembang, tidak diabsorbsi, tidak merusak sel, jika karagenin habis maka sel akan kembali ke bentuk semula.
Pada kelompok kami digunakan Deksametason dengan dosis  0.126 mg/ kgBB yang diberikan secara per oral. Setelah jeda setengah jam diberikan karagenin 1% sebanyak 0,1 ml secara subplantar. Pemberian Deksametason terlebih dahulu bertujuan agar obat tersebut memberikan efek anti inflamasi baru diberikan karagenin yang menyebabkan bengkak, kerja dari karagenin selama 6 jam jadi meskipun diberi obat antiinflamasi tidak akan reda secara keseluruhan dan masih saja ada bengkak pada hewan uji. jika tidak ada karagenin dapat diganti dengan albumin.
Mekanisme radang diawali dari terjadi kerusakan membrane sel akibat rangsangan mekanis, kimia dan fisika kemudian menuju fosfolipida (membrane sel) terdapat enzim fosfolipase yang akan mengeluarkan asam arakidonat.  Dengan adanya enzim siklooksigensae maka asam arakidonat akan dirubah menjadi prostaglandin. Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida yang akan dibagi menjadi dua produk COX 1 dan COX 2. COX 1 berisi tromboksan ,protasiklik (yang dapat menghambat produksi asam lambung yang berfungsi untuk melindugi mukosa lambung). COX 2 (asam meloksikam) berisi prostaglandin  (penyebab peradangan). Sedangkan lipooksigenase akan mengubah  asam hidroperoksida yang merupakan precursor leukotrien LTA (senyawa yang dijumpai pada keadaan antifilaksis) kemudian memproduksi LBT 4 (penyebab peradangan) dan LTC4,LTD4 dan LTE4.
Ciri- ciri terjadinya radang adanya rubor (rasa nyeri), kalor (panas), dolor (kemerahan), tumor (bengkak) dan adanya keterbatasan gerak yang akan menjadi semakin parah apabila tidak segera diobati. Obat antiradang dibagi menjadi steroid dan nonsteroid. Pengunaaan obat nonsteroid lebih dianjurkan untuk radang ringan baru setelah tidak ada penurunan digunakan obat steroid. Efek samping dari obat nonsteroid adalah dapat meningkatkan asam lambung oleh karena itu diberikan setelah makan. Efek samping dari obat steroid lebih berbahaya dari nonsteroid karena menyebabkan cushing (tensi cairan yang berlebih), osteoporosis, menghambat pertumbuhan, immunosukresif dan moonface pada wajah,terjadi lisis karbohidrat dan trigliserida yang menyebabkan hiperglikemia sehingga kadar insulin meningkat.
 Menurut literature penggunaan obat berdasarkan dari urutan yang paling baik dexametason lebih baik dari metal predisolon dalam antiradang.Meskipun dalam satu golongan, tetapi Deksametason mempunyai efek lebih kuat dibanding metil prednisolon. Hal ini dikarenakan Deksametason mempunyai gugus metil (CH3) pada rantai samping yang tidak dimiliki oleh Metil Prednisolon dan glukokortikoid lainnya, akibatnya Deksametason mempunyai lipofilitas lebih besar sehingga potensi yang dihasilkan lebih kuat. Sedangkan pada Na.Diklofenac lebih baik daripada Ibuprofen dalam antipiretik dan analgetik.
Pada uji anava satu jalan didapatkan hasil bahwa F hitung lebih besar daripada F table sehingga menyebabkan perbedaan antar kelompok. Tetapi setelah diuji pasca anava  dapat terlihat perbedaan yang signifikan antara ibuprofen dengan semua obat. Sedangkan untuk Metil Prednisolon vs Na.Diklofenak, Metil Prednisolon vs Deksametason,dan Na.Diklofenak vs Deksametason tidak ada perbedaan yang signifikan.Hal ini disebabkan karena daya anti inflamasi Ibuprofen lebih rendah dibandingkan dengan obat-obat yang lain.




  •      KESIMPULAN
1.    Inflamasi terjadi karena adanya rangsangan mekanis, fisika dan kimia yang akan menyebabkan kerusakan membran sel sehingga terjadi rasa nyeri, panas, bengkak dan keterbatasan gerak.
2.    Deksametason digunakan sebagai obat antiinflamasi, sedangkan karagenin sebagai penyebab peradangan.
3.    Obat antiinflamasi dibagi menjadi nonsteroid dan steroid.
4.    Terjadinya peradangan karena adanya COX 2 dari siklooksigenase dan LBT4 dari leukotrien yang ada pada lipooksigenase.
5.    Dari hasil percobaan obat yang memiliki  daya inflamasi paling besar adalah Metil Prednisolon dan yang paling rendah adalah Ibuprofen.
6.     Pada uji anava satu jalan didapatkan hasil bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel, menyebabkan perbedaan antar kelompok. Tetapi setelah diuji pasca anava  dapat terlihat perbedaan yang signifikan antara ibuprofen dengan semua obat.

  •   DAFTAR PUSTAKA
Aznan Lelo, D. S. Hidayat, Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi dan Terapeutik, Universitas Sumatera Utara
Godman & Gilman’s, 2001,  The Pharmacological Basis of Therapeitic, 10 th ed.
Hoan Tjay, Kirana Rahardja, 2007, Obat – Obat Penting, Jakarta, Elex Media  Komputindo
Jeanne Esvandiary, Maria Firmina Sekar Utami, Yosef Wijoyo, Fakultas Farmasi     Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


 

Pharmacology dolor notes Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal